INFORMASI PUBLIK

Optimalkan Implementasi UU TPKS dalam Penanganan Hukum Kasus Kekerasan KemenPPPA Libatkan Koordinasi Lintas Sektor

Siaran Pers Nomor: B- 340 /SETMEN/HM.02.04/09/2023

 

Bogor (07/09) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang diberikan mandat menyelenggarakan pelayan terhadap perempuan korban kekerasan mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengoptimalkan implementasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Melalui Rapat Koordinasi Antar Lembaga dan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Wilayah II, Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati mendorong APH untuk mengawal kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mulai dari proses penyidikan, penuntutan dan putusan yang berperspektif perempuan dan anak dengan menggunakan UU TPKS.

“Undang-undang TPKS sebagai peraturan hukum yang bersifat lex specialis diharapkan bisa menjadi menyelesaikan kasus kekerasan yang terjadi di negara ini. Dalam UU TPKS telah diatur pencegahan, penanganan, pemulihan dan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif. Untuk mewujudkan komitmen bersama tersebut, KemenPPPA tidak bisa bekerja sendiri, tetapi dibutuhkan peran serta berbagai pihak termasuk APH dalam mengawal penanganan dan penegakan hukum kasus kekerasan seksual,” tegas Ratna (06/09). 

Ratna mengatakan dalam menjalankan mandat Undang-undang TPKS, KemenPPPA telah menyelenggarakan pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129). Dalam memastikan terselenggaranya pelayanan terpadu, peran APH menjadi penting agar kasus dapat ditindaklanjuti secara hukum dan keadilan bisa ditegakan.

“Kehadiran SAPA 129 menjadi ruang yang terbuka dan ruang aman bagi korban, keluarga dan masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan. Dalam menindaklanjuti aduan kasus kekerasan tersebut, sinergi dan koordinasi penanganan tindak pidana kekerasan seksual menjadi penting. Salah satunya tercapainya sistem beracara pidana kasus yang cepat dan responsif, karena kasus kekerasan yang dilaporkan harus diberikan pelayanan dalam waktu 1x24 jam. Sehingga tidak ada lagi penundaan dalam menangani kasus kekerasan yang bisa menyebabkan korban takut untuk melapor,” jelas Ratna

Ratna mengatakan bahwa KemenPPPA akan terus mendorong peraturan turunan Undang-undang TPKS untuk segera disahkan sehingga bisa menjadi acuan bagi penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Disamping itu, pihaknya juga akan turut serta mengawal upaya peningkatan kapasitas mitra dari KemenPPPA dalam merespon kasus kekerasan yang terjadi, salah satunya melalui pembentukan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA dan TPPO) oleh Kepolisian.

“Sejak diundangkannya Undang-undang TPKS pada 9 Mei 2023, POLRI telah memproses 154 kasus kekerasan seksual yang didominasi oleh pelecehan seksual baik fisik dan non fisik. Kasus-kasus ini harus direspon dengan pengetahuan sensitivitas gender dan ditindaklanjuti dengan cepat sehingga masyarakat semakin berani melapor,” ungkap Komisaris Besar Polisi, Arya Perdana.

Arya menyampaikan bahwa Undang-undang TPKS menjadi payung hukum yang komprehensif bagi APH dalam memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat, termasuk memberikan perlindungan bagi korban, menghindari reviktimisasi dan mengatur restitusi.

“POLRI secara serius dan konsisten memberikan perhatian dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk disabilitas melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Kemudian melalui Rapat Terbatas dengan Presiden tahun ini akan dibentuk Direktorat PPA dan TPPO. Tidak hanya di Mabes dan Polda, bahkan Polres juga akan memiliki Direktorat PPA dan TPPO sehingga penanganan yang diberikan pada kasus perempuan dan anak bisa lebih optimal,” ungkap Arya.

Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, Nirwana menyampaikan bahwa Mahkamah Agung menyambut baik diundangkannya Undang-undang TPKS yang dapat menjadi acuan hakim dalam memberikan putusan. Namun begitu, sosialisasi dan peningkatan kapasitas APH masih dibutuhkan, karena saat ini implementasi UU TPKS dirasa masih belum maksimal.

“Dilihat dari beberapa kasus baik perkosaan dan pencabulan, terkadang APH masih belum menggunakan UU TPKS. Jadi kami  berharap dengan adanya kegiatan rapat koordinasi ini bisa terbentuk persepsi bersama untuk menggunakan undang-undang lex specialis dalam memberikan hak dan perlindungan terhadap korban,” tutur Nirwana.

Jaksa Ahli Madya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Robert Sitinjak mengapresiasi peran KemenPPPA dalam memberikan sosialisasi terhadap APH terkait Undang-undang TPKS. Melalui sosialisasi tersebut diharapkan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan dapat ditegakan.

 


BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id