INFORMASI PUBLIK

Respon Tantangan Penanganan Kasus Kekerasan KemenPPPA Dorong Maksimalkan Restitusi

Siaran Pers Nomor: B- 342 /SETMEN/HM.02.04/09/2023

 

Bogor (08/09) – Dalam merespon kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak secara holistik dan terintegrasi yang mengedepankan pemenuhan hak korban, masih ditemukan tantangan dalam proses pelaksanaannya di daerah. Salah satu tantangannya adalah terkait restitusi atau ganti kerugian yang belum optimal diajukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), hingga korban yang enggan mengajukan restitusi. Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyelenggarakan Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Wilayah II sebagai wadah para APH untuk dapat berbagi pengalaman terbaik dalam menangani kasus kekerasan seksual.

“KemenPPPA yang menyelenggarakan fungsi penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus mengupayakan dilaksanakannya sinergi dan koordinasi antara lintas sektor. Hal ini dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan korban mendapatkan layanan yang komprehensif baik perlindungan, mengakses keadilan melalui penegakan hukum, hingga bisa pulih kembali. Salah satu pemenuhan hak korban tersebut adalah diberikannya restitusi dari pelaku sebagai biaya ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan. Namun begitu, masih banyak korban yang tidak paham atau enggan untuk mengajukan restitusi,” tutur Plt. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa (07/09).

Margareth menyampaikan, setahun pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KemenPPPA senantiasa mendorong APH, dan mengedukasi masyarakat mengenai hak korban kekerasan seksual yakni untuk mendapatkan restitusi. Selain dari keengganan korban, peran APH juga menjadi penting untuk turut serta dalam mengedukasi korban dan keluarga korban mengenai hak restitusi.

“KemenPPPA bersama Kementerian/Lembaga telah menyusun peraturan turunan dari UU TPKS yang sekarang dalam proses harmonisasi. Peraturan tersebut terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden, salah satunya adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai amanat Pasal 35 ayat (4) yang diprakarsai Kementerian Hukum dan HAM. Melalui peraturan tersebut diharapkan mampu menjadi acuan mengajukan restitusi untuk korban kekerasan seksual bagi para APH di lapangan,” tutur Margareth.

Merespon hal itu, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, Nirwana menyampaikan salah satu hambatan dalam pengajuan proses restitusi karena korban enggan untuk meminta restitusi yang dianggap akan meringankan atau membebaskan korban dari hukuman penjara. Peran penyidik menjadi sangat penting untuk memberikan informasi dan edukasi agar para korban mengetahui tentang hak restitusi dan dapat memudahkan proses pengajuan ke LPSK.

“Hak restitusi diharapkan disampaikan kepada korban sejak awal oleh rekan-rekan penyidik. Sehingga korban kekerasan dan keluarga tahu mengenai haknya dan korban memahami bahwa restitusi tidak akan membebaskan pelaku dari pidana penjara. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) juga telah mengatur melalui Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana yang dapat menjadi acuan,” ucap Nirwana.

Jaksa Ahli Madya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Robert Sitinjak juga mendorong para jaksa untuk dapat merespon kebutuhan restitusi bagi korban melalui pelacakan dan pemblokiran aset pelaku. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir pelaku mengalihkan aset mereka sehingga akhirnya restitusi tidak dapat dibayarkan pada korban.

Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus viktimolog, Rena Yulia menyampaikan pencantuman nilai tuntutan ganti kerugian dalam tuntutan pidana diperhitungkan berdasarkan kerugian materil yang dapat dibuktikan sebagai akibat langsung tindak pidana.

“Adapun unsur kerugian yang diderita oleh korban dan bisa diajukan untuk restitusi antara lain biaya pengobatan, biaya konseling, kehilangan pendapatan atau keuntungan yang dapat diperhitungkan, biaya pemakaman dan penguburan, biaya transportasi selama mengurus proses restitusi, hilangnya kebahagiaan dalam hidup, akibat penderitaan yang dialami, biaya penggantian atau perbaikan aset dan properti dan biaya tambahan lain yang dapat dibuktikan penggunaannya,” jelas Rena.

Tenaga Ahli Pusat Perlindungan Perempuan (P2A) dan Anak Provinsi DKI Jakarta, Wulansari menyampaikan upaya koordinasi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan seksual telah dilaksanakan melalui nota kesepahaman antara Pemprov DKI Jakarta dengan kepolisian Daerah Metro Jaya. Dari aduan yang masuk, korban akan diberikan asesmen untuk menentukan pelayanan yang akan diberikan. Apakah itu layanan psikologis, pendampingan korban, maupun layanan hukum.

“Dari layanan hukum yang diberikan dengan bekerjasama dengan pihak kepolisian, sudah ada 87 klien yang restitusinya diproses oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pemberian restitusi oleh pelaku menjadi suatu hal yang penting untuk memberikan efek jera sekaligus memberikan hak dan keadilan bagi korban,” tutur Wulan.

Ketua Harian Kompolnas, Benny Mamoto turut menyampaikan tantangan dan komitmen penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pemberian respon yang cepat dan melakukan inovasi merupakan hal yang penting untuk meminimalisir tantangan yang dialami dalam menangani kasus kekerasan seksual.

“Kasus kekerasan seksual rentan terhadap masalah waktu. Jika kasus sudah lama terjadi bisa saja TKP sudah rusak, pelaku sudah kabur dan barang bukti telah hilang. Hal ini akan menyulitkan dalam proses penyidikan karena minimnya bukti. Untuk merespon hal itu, Kompolnas sudah melakukan upaya inovasi melalui dibuatnya bank data kriminal yang akan membantu penyidik agar dapat bekerja lebih efektif ketika bukti dan saksi yang tersedia terbatas,” ungkap Benny. 

Komisaris Besar Polisi, Arya Perdana menyampaikan tantangan lain menghadapi kasus kekerasan seksual adalah konsep pelayanan terpadu di tingkat pusat maupun di daerah yang perlu ditingkatkan khususnya dalam koordinasi lintas sektor.

“Upaya pelayanan terpadu penanganan kasus kekerasan seksual tersebut perlu koordinasi lintas sektor baik dari kepolisian, jaksa, hakim dan juga dinas pengampu urusan perempuan dan anak. Rekan-rekan perlu berkoordinasi untuk dapat menyamakan persepsi dan saling membantu jika mengalami kesulitan dalam penanganan kasus,” tutur Arya.

Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Wilayah II merupakan tindak lanjut hasil rekomendasi pertemuan Rapat Koordinasi pertama pada 3-4 Agustus 2023. Adapun wilayah II meliputi 13 Provinsi, yaitu: Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 



BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id