INFORMASI PUBLIK

Menteri PPPA Indonesia Perlu Meningkatkan Ruang Partisipasi dan Representasi Politik Perempuan

Siaran Pers Nomor: B-363/SETMEN/HM.02.04/9/2023

 

Jakarta (21/9) – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menghadiri Acara Seminar Nasional Peningkatan Keterwakilan minimal 30% Perempuan di Parlemen pada Pemilu 2024 yang mengangkat tema “Suksesi Suara Pemilih Pemula untuk Pemilu 2024”, pada Rabu (20/9). Menteri PPPA mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi besar di dunia, sudah sepatutnya meningkatkan ruang partisipasi dan representasi politik perempuan agar terfasilitasi dengan baik. 

“Ketertinggalan keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat terlihat melalui IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) Indonesia yang menunjukkan angka 76,59. Angka ini pun belum menunjukkan peningkatan yang signifikan selama 10 tahun terakhir. Salah satu faktornya tentu adalah angka partisipasi perempuan di parlemen yang masih rendah, bahkan 26 provinsi berada dibawah angka rata-rata nasional,” ujar Menteri PPPA.

Menteri PPPA menambahkan berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di lembaga Legislatif Nasional (DPR RI) masih sebesar 20.8% atau hanya terdapat 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Kemudian, sedikit meningkat pada 2021 menjadi 123 orang atau 21,39% (hasil Pergantian Antar Waktu/PAW). Persentase ini merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah di Indonesia, namun masih jauh dari angka afirmasi 30%.

“Masih rendahnya angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif juga sedikit banyak berpengaruh terhadap kebijakan yang masih kurang responsif gender yang belum mampu merespon persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya,” tutur Menteri PPPA. 

Menteri PPPA mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi besar di dunia, sudah sepatutnya meningkatkan ruang partisipasi dan representasi politik perempuan agar terfasilitasi dengan baik. Hal ini karena sistem politik demokrasi menuntut kehadiran sistem perwakilan yang inklusif dimana lembaga perwakilan yang dipilih melalui pemilu di isi oleh wakil-wakil yang mencerminkan masyarakat yang diwakilinya, salah satunya dari segi gender.

Selain itu, Indonesia juga  ikut menyepakati paradigma pembangunan dunia yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 (tujuh belas) tujuan utama untuk dicapai pada tahun 2030, sekaligus mengagendakan planet 50:50 gender equality, dan salah satu tujuannya adalah kesetaraan gender.

“Pemilu 2024 yang akan datang, merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk melakukan perubahan positif dalam sistem politik. Salah satu aspek yang sangat mempengaruhi hasil pemilu adalah suara pemilih pemula, yaitu mereka yang baru pertama kali berpartisipasi dalam pemilu atau pemilih muda yang belum memiliki pengalaman politik yang cukup. Kita semua berharap pemilu 2024 akan menjadi tonggak penting dalam perjuangan untuk mencapai keterwakilan yang lebih adil dan inklusif di parlemen untuk mewujudkan perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” pungkas Menteri PPPA. 

Ketua Umum Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI), Diah Pitaloka dalam kesempatan ini menjelaskan beberapa agenda politik berperspektif perempuan yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPR RI), diantaranya seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sudah berhasil disahkan. Kemudian, ada pembahasan Undang - Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang salah satunya ingin meningkatkan kualitas hidup anak Indonesia dengan menyasar 1000 hari masa awal pertumbuhan awal kehidupan anak. Ini nantinya akan membangun misalnya pengasuhan tempat penitipan anak lalu juga ruang-ruang laktasi, juga akses terhadap kesehatan akses terhadap hak ibu dalam pengasuhan anak. Selain itu, ada pembahasan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga yang banyak disuarakan oleh berbagai kalangan, karena banyak sekali perempuan Indonesia yang butuh referensi normal, butuh dasar norma yang juga akan menjadi acuan bagi pekerja perempuan.

Sementara itu, terkait pemilu, Diah mengatakan bahwa yang paling penting dalam sebuah pemilu adalah suara rakyat. Para pemilih seharusnya tidak hanya dilihat sebagai target, melainkan subjek dalam demokrasi yang mengawal suara, mengawal fungsi, dan mengawal cita-cita politik dari apa yang benar - benar disuarakan oleh rakyat.

“Para pemilih pemula dan pemilih perempuan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai angka atau target suara saja, tetapi juga harus difikirkan bagaimana membangun strategi agar kepentingan para pemilih pemula dan perempuan tersebut bisa didengar, dan bisa menjadi mainstream atau arus utama isu di dalam sebuah pemilu,” ujar Diah.

Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Rahayu Saraswati mengatakan bahwa kebutuhan keterwakilan suara perempuan dalam politik tidak hanya karena berdasarkan jumlah perempuan yang hampir mencapai setengah jumlah penduduk Indonesia, namun lebih penting lagi, adalah untuk memastikan ada persepsi perempuan di dalam pengambilan kebijakan.

“Kenapa suara perempuan sangat penting dalam politik, kita tidak hanya bicara karena perempuan setengah penduduk sehingga kita harus ada di situ (politik). Tetapi lebih penting lagi, bahwa untuk memastikan ada persepsi perempuan di dalam pengambilan kebijakan, untuk itu harus ada suara-suara yang mewakili persepsi perempuan. Kalau kita tidak mendorong adanya kuota perempuan dalam politik, maka sulit mendapatkan caleg perempuan, karena memang ada budaya, sistem, dan ekonomi yang menjadi tiga kendala terbesar untuk perempuan bisa maju,” ujar Rahayu.

 


 

BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id