KemenPPPA Sampaikan Pentingnya Masyarakat Menjadi Pribadi yang Aman dan Ramah Anak
Siaran Pers Nomor: B-364/SETMEN/HM.02.04/9/2023
Jakarta (21/9) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan pentingnya menjadi pribadi yang aman dan ramah anak, dan memiliki sensitifitas terhadap perlindungan anak. Dengan ini diharapkan masyarakat dapat berperilaku secara lebih tepat kepada anak dan memastikan kegiatan atau tindakan yang dilakukan aman bagi keselamatan anak, serta memiliki kontrol diri yang baik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap anak.
“Dari kasus-kasus yang beredar di media dan sejumlah penelitian, terungkap bahwa pelaku kekerasan adalah orang-orang terdekat yang berada di sekitar anak. Beberapa kasus terungkap bahwa tidak semua kekerasan terjadi karena disengaja atau direncanakan, namun kekerasan dapat terjadi dari amarah yang meledak dan tidak terkontrol, dan anak yang menjadi tempat pelampiasan kekesalan, kemarahan dan kekecewaan orang dewasa. Untuk menghindari terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap anak tersebut, hari ini kita menyelenggarakan kegiatan untuk bersama-sama berefleksi diri apakah kita cukup aman dan ramah bagi anak,” ujar Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, dalam acara “Refleksi Diri dan Sosialisasi: Aman dan Ramahkah Saya terhadap Anak?”, pada Selasa (19/9).
Menurut Rini, dengan meningkatnya pemahaman tentang konsep aman dan ramah anak yang dapat berkontribusi pada perilaku yang lebih tepat dan aman bagi keselamatan anak, diharapkan dapat membantu mencegah, merespon secara lebih tepat dan melaporkan isu kekerasan terhadap anak.
“Penting bagi kita untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang hal tersebut dan memiliki sensitifitas terhadap perlindungan anak, sehingga kita memiliki kontrol diri yang baik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, baik di rumah, di tempat bekerja, di jalan dan di ruang-ruang publik lainnya,” tutur Rini.
Rini juga mengungkapkan bahwa KemenPPPA telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, program dan kegiatan untuk membuat pembangunan dan hasil-hasilnya menjadi lebih ramah anak.
“Kebijakan/program/kegiatan seperti Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Sekolah Ramah Anak (SRA), Puskesmas Ramah Anak, Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA), Daycare Ramah Anak, Rumah Ibadah Ramah Anak (RIRA), dan Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA) bertujuan untuk menciptakan ruang-ruang publik yang aman untuk anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal, serta terlindungi,” ujar Rini.
Menurut Rini, penciptaan ruang-ruang aman bagi anak tersebut tidak menyaratkan pembangunan sarana prasarana baru, namun menitikberatkan pada perubahan mindset dan manajemen yang lebih berperspektif dan berpihak pada perlindungan anak.
“Syarat penting terciptanya ruang-ruang aman tersebut adalah Sumber Daya Manusia (SDM) atau tenaga layanan yang memiliki pemahaman tentang konsep aman dan ramah anak, serta memiliki sensitifitas terhadap perlindungan anak. Sehingga dapat mencegah terjadinya berbagai bentuk kekerasan, ekspolitasi dan diskriminasi terhadap anak yang saat ini marak terjadi dan ramai diberitakan di media,” tutur Rini.
Senada dengan hal tersebut, Psikolog Mona Sugianto mengatakan bahwa perlakuan salah kepada anak terjadi di berbagai tempat, bahkan di lingkungan terdekat anak – anak, seperti di lingkungan keluarga, institusi pendidikan, lembaga agama, tempat umum. Perlakuan salah tersebut pun bisa terjadi di berbagai waktu, beragam aktivitas, dan berbagai setting.
“Ada 2 (dua) hal untuk kita bisa menjadi pribadi yang aman dan ramah anak. Pertama, apakah kita mau menjadi sosok yang aman dan ramah anak? Kemudian yang kedua, apakah kita mampu menjadi aman dan ramah anak? Untuk menjadi mampu, memang membutuhkan kerendahan hati kita untuk selalu merefleksi diri apakah kita sudah menjadi pribadi yang aman dan ramah bagi anak,” tutur Mona.
Sementara itu, Psikolog, Nicolas Indra Nurpatria, menjelaskan bahwa dalam setiap relasi, terdapat yang namanya Power Distance (kesenjangan kuasa/kekuasaan), dimana setiap orang dalam masyarakat memiliki kualitas relasi atau hubungan yang berbeda-beda satu sama lain karena adanya perbedaan status sosial (usia, jabatan, dan peran), dan Power Relation(relasi kuasa), dimana terdapat hubungan yang tidak seimbang antara kedua belah pihak sehingga memunculkan kekuasaan pada salah satu pihak dan ketergantungan pada pihak lain.
Bentuk kuasa tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak terhadap anak, diantaranya seperti tidak ada keterbukaan, takut, dan khawatir menyampaikan pendapat, ragu atau takut mengambil keputusan, kesulitan membangun relasi yang didasarkan pada rasa saling percaya, tidak nyaman berhubungan dengan pihak lain, tidak percaya diri, hingga ketergantungan pada pihak lain.
“Selalu ingat bahwa kesenjangan kuasa, dan relasi kuasa akan selalu muncul saat berhadapan dengan anak. Kita bisa mencoba untuk berempati dan menempatkan diri dalam posisi anak, memunculkan sikap yang ramah untuk menciptakan suasan nyaman dan ramah bagi anak, memberi kesempatan pada anak untuk menyampaikan perasaan, pikiran, dan pendapatnya, memberikan kesempatan anak mengembangkan potensinya, memberikan ruang bagi anak untuk mandiri dan memecahkan masalah, menciptakan pengalaman konkret yang dapat menjadi pembelajaran anak, dan mengajak anak untuk belajar dari pengalaman melalui refleksi dan evaluasi,” pungkas Nicolas.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id