INFORMASI PUBLIK

KemenPPPA Orang Tua Seharusnya Melindungi Anak Bukan Sebagai Pelaku Kekerasan

Siaran Pers Nomor: B-372/SETMEN/HM.02.04/09/2023

 

Jakarta (26/09) – Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 1 ayat 11 telah dengan jelas menyebutkan kuasa asuh atau kewajiban para orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.  Namun,  disayangkan kasus kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya terus terjadi, seperti kasus ibu setrika anaknya di Jambi dan kasus anak yang diikat orang tuanya di pohon pisang di Boyolali.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar prihatin atas maraknya kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua.  Nahar menyatakan bahwa orang tua adalah panutan pertama, contoh hidup pertama untuk anak, pendidik, pelindung, sehingga anak bisa bertumbuh dengan baik. Sebagai unit masyarakat terkecil, keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman untuk anak.

“Orang tua seharusnya menjadi pelindung bagi anak, bukan pelaku kekerasan. Bisa jadi orang tua yang melakukan kekerasan dulunya adalah korban. Ini harus diputus mata rantai kekerasan. Tidak boleh berulang turun-temurun. Dua kasus kekerasan terhadap anak seperti di Boyolali dan di Jambi sangat memprihatinkan. Kejadian itu memiliki dampak trauma mendalam bagi anak seperti munculnya perasaan malu/menyalahkan diri sendiri, cemas atau depresi, kehilangan minat untuk bersekolah, stres pasca-trauma seperti terus-menerus memikirkan peristiwa traumatis yang dialaminya, dan dapat pula tumbuh sebagai anak yang mengisolasi diri sendiri dari lingkungan di sekitarnya,” kata Nahar dalam keterangannya, Senin (25/9/2023).

Nahar menyampaikan bahwa terdapat ketimpangan relasi kuasa yang nyata antara pelaku dan korban dimana pelaku merupakan ibu dari korban sehingga sangat memungkinkan korban tidak memiliki kuasa untuk melawan tindakan yang dilakukan oleh pelaku terutama juga disertai dengan ancaman.

Kemen PPPA memberikan apresiasi kepada aparat kepolisian yang telah menangkap para pelaku. Kemen PPPA melalui Tim Layanan SAPA juga telah melakukan koordinasi dan mendapatkan perkembangan terakhir dari tim P2Tp2A Bungo dan  Unit PPA  Polres Bungo dan juga P2TP2A Boyolali atas dua kasus yang mendapat perhatian besar dari warga setempat.

“Terhadap kasus anak yang diikat di pohon pisang di Boyolali, kami sudah mendapatkan laporan bahwasanya korban saat ini telah berada di tempat yang aman dan Tim Kemen PPPA melalui P2TP2A Boyolali akan memastikan pendampingan dan pemulihan bagi anak korban. Sementara untuk kasus di Kabupaten Bungo, Jambi, Tim SAPA akan berkoordinasi dengan UPTD PPA Jambi untuk informasi perkembangan kasusnya khususnya penanganan luka fisik yang diderita korban dan memantau proses hukumnya,” ucap Nahar.

Dalam dua kasus tersebut, para terlapor diduga telah melakukan kekerasan terhadap anak yang melanggar pasal 76C jo. pasal 80 ayat (1) dan ayat (4) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa "Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) dapat ditambah sepertiga apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.  

Bahwa selain melanggar UU Perlindungan Anak, para terlapor juga dapat dikenakan pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga "Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)."  Apabila dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) sesuai pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021, pelaku kekerasan fisik terhadap anak laki-laki baik usia 13 - 17 tahun maupun usia 18 - 24 tahun pada kejadian pertama dan terakhir dengan persentase tertinggi adalah teman/sebaya dan pelaku kekerasan fisik terhadap perempuan baik usia 13 - 17 tahun maupun usia 18 - 24 tahun pada kejadian pertama dan terakhir dengan persentase tertinggi adalah keluarga.

Beberapa faktor yang memicu terjadinya kekerasan terhadap anak diantaranya adalah kurangnya pemahaman orang tua tentang hak dan kewajibannya dalam pengasuhan anak, pola asuh yang otoriter dan faktor ekonomi. Nahar berharap orang tua memiliki kesiapan dan memahami tujuan pengasuhan yang benar. Kemen PPPA bersama Dinas PPPA di daerah telah memiliki PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) dimana orang tua bisa memanfaatkan layanan yang ada diantaranya advokasi pengasuhan bagi orang tua.

 


 

BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id