Lawan KBGO, KemenPPPA Dorong UPTD dan Pengada Layanan Tanggap Barang Bukti Kekerasan Elektronik
Siaran Pers
Nomor: B-066/SETMEN/HM.02.04/02/2022
Jakarta (09/02) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendorong Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) dan Pengada Layanan memahami dokumen penting elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam penanganan dan proses hukum korban kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Oleh karenanya, KemenPPPA menyelenggarakan kegiatan “Pengembangan Kapasitas UPTD dan Pengada Layanan Terkait Barang Bukti Dokumen Elektronik/Informasi Elektronik Untuk Penanganan KBGO” sebagai bentuk komitmen KemenPPPA dalam menurunkan kasus kekerasan terhadap kelompok rentan perempuan dan anak, khususnya dalam ranah daring.
“Menurut Data dari SAFENet Indonesia kasus KBGO tahun 2020 meningkat 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, 60 kasus pada tahun 2019 menjadi 620 kasus. Kekerasan berbasis online didominasi oleh kekerasan seksual dengan bentuk terbanyak adalah ancaman penyebaran video porno baik di ranah KDRT/Relasi Personal dan di komunitas. Pelaku terbanyak KBGO di ranah KDRT/RP adalah mantan pacar, sedangkan pelaku terbanyak di ranah komunitas adalah teman atau tidak teridentifikasi/anonim atau dengan menggunakan akun palsu,” ungkap Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan, Valentina Gintings.
Valentina menerangkan bahwa KBGO memberikan dampak psikologis yang sangat besar kepada korbannya, mulai dari kecemasan, depresi, bahkan timbul pikiran untuk mengakhiri hidup akibat rasa malu yang timbul dari kekerasan yang dialami. Hal itu diperparah ketika seseorang telah menyebar konten asusila bersifat non konsensual di internet, maka jejak digitalnya tidak akan pernah hilang. Meski begitu, penanganan KBGO saat ini masih harus ditingkatkan terlebih bagi UPTD dan Pengada Pelayanan sebagai unit yang aktif mendampingi korban.
“Diharapkan dengan adanya pertemuan hari ini, kita semua bisa semakin paham bagaimana menghadirkan barang bukti ketika kita melaporkan kasus KBGO dan kemana kita melapor. Karena kita tau banyak kasus KBGO yang tidak dapat dilanjutkan oleh pihak penyidik karena barang bukti yang diberikan kurang lengkap,” ungkap Valentia
Plt. Atase Bantuan Penegakan Hukum ICITAP US Embassy, John Ruffcorn menjelaskan bahwa berurusan dengan kasus pelecehan dan pemerasan yang terjadi secara online sangat menantang dihadapi. Semua bukti yang ditemukan akan didokumentasikan untuk dilanjutkan ke proses pengadilan. Oleh karenanya, cara terbaik untuk menanganinya pertama adalah dengan mencegah. Kedua, mintalah korban melacak informasi sebanyak mungkin, mulai dari tanggal, waktu, apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Ketiga, kumpulkan bukti-buktinya.
Koordinator Multistakeholder Advisory Group Indonesia Internet Governance Forum (ID-IGF), Mariam F. Barata menegaskan mengumpulkan alat bukti merupakan hal yang penting. Mulai dari teks, foto, video, rekaman suara, grafik, simbol, email ,peta dan kode akses dapat dijadikan. Alat bukti tersebut nantinya dapat dipergunakan untuk memperkuat tuntutan atau gugatan dari korban.
“Perempuan biasanya takut untuk melaporkan ancaman fisik atau kekerasan yang mereka dapat, ragu untuk melakukan konsultasi hukum untuk menyelesaikan masalah karena rasa takut. Oleh karenanya, pendamping harus bekerjasama dengan korban, berbicara karena barang bukti bisa merugikan korban di kemudian hari. Peran pendamping sangat penting supaya korban mau menyerahkan barang bukti dan melapor kepada APH (Aparat Penegak Hukum) atau lembaga yang berperan melakukan pendampingan,”
Mariam juga menyampaikan bahwa KemenKominfo menyediakan layanan pengaduan pemeriksaan perangkat digital forensic bagi APH, masyarakat, praktisi dan lainnya, serta layanan pengaduan atau pelaporan terhadap penegakan hukum UU ITE. Melalui pelaporan dengan bukti elektronik yang memadai maka pemblokiran konten-konten kesusilaan dapat dilaksanakan bekerja sama dengan platform penyedia jasa layanan digital baik media sosial hingga mesin pencari.
Dari sisi aparat penegak hukum, Kanit Subdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri, Rumi Untari menjelaskan upaya pihak kepolisian dalam menangani kasus KBGO mulai dari proses penyidikan dengan melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan alat bukti dan pelaku kejahatan. Kedua, patroli siber dengan melakukan pengawasan secara online di dunia maya terutama akun media sosial. Ketiga, forensik melalui pengolahan secara computer forensic ataupun digital forensic terhadap barang bukti kejahatan siber.
Lebih lanjut, Rumi menegaskan upaya pemenuhan SDM dan sarana prasarana yang responsif gender dalam penanganan kasus KBGO, khususnya pada Unit PPA yang nantinya menjadi Direktorat PPA. Kedepan, Rumi menegaskan bahwa kepolisian akan terus meningkatkan pelayanan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi lebih baik.
Acara yang dihadiri oleh sekitar 350 peserta mendapat respon yang baik mengingat materi terkait kekerasan berbasis gender online ini merupakan materi yang sangat dibutuhkan di lapangan mengingat masih banyak para petugas yang bekerja dalam memberikan layanan pengaduan belum memahami apa itu data dan informasi elektronik yang dapat dijadikan alat bukti yang sah secara hukum. Selain itu, isu mengenai upaya agar korban tidak di kriminalisasi atas kasus nya sendiri menjadi isu yang juga dibahas.
Adapun 8 jenis kekerasan berbasis
gender online menurut SAFEnet, diantaranya: (1) pendekatan untuk memperdaya
(cyber grooming); (2) pelecehan online (cyber harassment); (3) peretasan
(hacking); (4) konten illegal (illegal content); (5) pelanggaran privasi
(infringement of privacy); (6) ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious
distribution); (7) pencemaran nama baik (online defamation); dan (8) rekrutmen
online (online recruitment).
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id