INFORMASI PUBLIK

KemenPPPA Perempuan dan Anak Penyandang Disabilitas Alami Kerentanan Berlapis

Siaran Pers Nomor: B-068/SETMEN/HM.02.04/02/2022

 

Jakarta (10/2) – Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar mengatakan, penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami tindakan diskriminatif dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan kesehatan. Tak hanya itu, penyandang disabilitas juga rentan mengalami eksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.

“Kerentanan berlapis atas kejadian tersebut pun harus dialami oleh perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Hal itu karena identitas ganda mereka sebagai bagian dari kelompok-kelompok rentan di masyarakat,” ujar Nahar, di Jakarta, Kamis (10/2). 

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas yang dialami oleh 264 anak laki-laki dan 764 anak perempuan. Data yang sama mengungkapkan, jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban.

“Anak penyandang disabilitas rentan dijadikan korban kekerasan seksual, bahkan oleh orang terdekatnya. Hal ini membuat anak penyandang disabilitas merasa hidupnya tidak aman dan merasa tertekan,” tutur Nahar.

KemenPPPA telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas, khususnya di lingkungan pendidikan. Diantaranya pembentukan Forum Koordinasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas, penyusunan buku panduan, hingga melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis dengan berbagai tema. “Hal ini kami lakukan karena hasil kajian cepat terkait pemantauan perlindungan peserta didik penyandang disabilitas di satuan pendidikan inklusi menunjukkan, sebanyak 22,6 persen peserta didik penyandang disabilitas mengaku pernah mengalami kekerasan,” ungkap Nahar.

Namun demikian, menurut Nahar, Pemerintah telah mengupayakan berbagai regulasi untuk memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak penyandang disabilitas. “Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tegas menyebutkan, hukuman maksimal dapat diterapkan terhadap pelaku, yaitu pidana mati, seumur hidup, dan penjara antara 10 hingga 20 tahun penjara, apabila korbannya lebih dari seorang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,” jelasnya.

Lebih lanjut Nahar mengatakan, Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik dan Pengumuman Identitas. Ketentuan ini dapat menjadi hukuman pidana tambahan, apabila pelaku melakukan persetubuhan berulang atau pernah dipidana sebelumnya. “KemenPPPA berharap agar pemerintah daerah lebih aktif melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan kepada anak disabilitas, termasuk menyosialisasikan berbagai peraturan yang ada,” imbuh Nahar.

Nahar pun menekankan pentingnya partisipasi masyarakat untuk melapor kepada lembaga terkait apabila mengetahui atau melihat adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas. “Masyarakat juga dapat menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak 129 (SAPA129) melalui Call Center 129 atau Whatsapp 08111-129-129,” tutup Nahar.

 

 

 

BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id