INFORMASI PUBLIK

Peringati 16 HAKtP, KemenPPPA Berikan Edukasi Cegah Kekerasan Seksual di Ruang Publik

Siaran Pers Nomor: B-608/SETMEN/HM.02.04/12/2022

 

Jakarta (7/12) – Dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama L'Oréal dan Di Jalan Aman Tanpa Pelecehan (DEMAND) menyelenggarakan ‘Webinar L’Oreal Paris STANDUP Melawan Kekerasan Seksual di Ruang Publik’ pada Rabu (7/12). Webinar ini diikuti oleh Fasilitator Daerah dan Kader Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) dari Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

“KemenPPPA berkolaborasi dengan L'oreal dan DEMAND memberikan edukasi pencegahan kekerasan seksual di ruang publik dan tentunya kita harapkan para fasilitator daerah dan kader SAPA bisa ikut terlibat dalam upaya-upaya penurunan kekerasan, baik di tempat kerja maupun di lingkungan sekitarnya,” ujar Plt. Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KemenPPPA, Indra Gunawan.

Menurut Indra, kegiatan ini penting untuk dilakukan, terlebih berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2021, 1 dari 4 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk di ruang publik.

“Kami juga mengumpulkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Dinas PPPA, dan lain sebagainya yang masuk ke dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA). Meski demikian, kasus yang terlaporkan masih di puncak gunung es sehingga belum memberikan gambaran secara keseluruhan karena biasanya banyak hambatan-hambatan ketika melaporkan kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak,” tutur Indra.

Product Executive for L'Oréal Paris Make Up, Klairine Rustan mengatakan sejak 2020 pihaknya telah meluncurkan kampanye STANDUP yang berfokus melawan pelecehan seksual di ruang publik. Pasalnya, pelecehan seksual merupakan salah satu isu krusial yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia.

Lebih lanjut Klairine menerangkan, berdasarkan riset yang dilakukan oleh L'Oréal dan IPSOS Indonesia, 51 persen saksi tidak melakukan intervensi saat melihat kejadian pelecehan seksual. “Alasan utamanya adalah mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. 91 persen dari mereka mengatakan tidak ada pelatihan yang cukup untuk melawan pelecehan seksual di tempat umum. Padahal, 72 persen situasi akan membaik apabila terdapat seseorang yang melakukan intervensi ketika terjadi kasus pelecehan seksual,” ujar Klairine.

Dalam kesempatan yang sama, Co-Director DEMAND, Anindya Restuviani menyebutkan ruang publik yang rawan terjadi pelecehan seksual adalah jalanan umum, kawasan pemukiman, transportasi umum, pusat perbelanjaan, tempat kerja, bahkan institusi pendidikan. Terlebih sejak pandemi Covid-19, ruang publik semakin meluas ke ranah daring. Ruang publik daring dengan tingkat pelecehan tinggi, diantaranya media sosial, aplikasi chat, aplikasi kencan, permainan virtual, hingga ruang diskusi virtual.

Vivi pun menjelaskan adanya 5D methodology yang bisa digunakan fasilitator daerah, relawan SAPA, maupun masyarakat secara umum untuk mengintervensi ketika terjadi pelecehan seksual di ruang publik, yaitu dialihkan, dilaporkan, didokumentasikan, ditenangkan, dan ditegur.

 

 

 

BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id