KemenPPPA Keberatan Putusan Hukuman Mas Bechi Tidak Sesuai UndangUndang
Siaran Pers Nomor: B-606/SETMEN/HM.02.04/12/2022
Jakarta (07/12) - Sidang Putusan Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Shiddiqiyah Jombang dengan Terdakwa Moch. Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi telah dilaksanakan pada 17 November 2022 di Pengadilan Negeri Kelas 1A Surabaya.
Dari hasil sidang, Majelis hakim menyatakan dakwaan pertama tentang perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang 16 tahun penjara kepada terdakwa tidak bisa diterapkan.
Menaggapi hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) keberatan tentang alat bukti yang dipertimbangkan majelis hakim terkait dengan tidak terbuktinya tindak pidana perkosaan.
“Kami keberatan namun kami tetap menghormati putusan majelis hakim. Kami merekomendasikan agar JPU melakukan banding dan dalam memori bandingnya memperkuat argumentasi dan bukti bukti tentang tentang tindak pidana perkosaan yang dilakukan terdakwa,” ujar Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa dalam kegiatan SOROT TAJAM : Babak Akhir Kasus Pemerkosaan Santriwati di Jombang “Peringatan Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan”, (6/12).
Majelis Hakim menyatakan dakwaan kedua tentang pencabulan dengan kekerasan atau disebut juga dengan tindak pidana serangan kehormatan berdasarkan kesusilaan terbukti secara syah dan meyakinkan sebagaimana diatur dalam pasal 289 KUHP, namun majelis hakim menjatuhkan pidana selama 7 tahun, padahal ancaman pidana pasal ini adalah 9 tahun.
“Kami memandang harusnya hakim tidak mempertimbangkan alasan yang meringankan karena tindakan terdakwa telah menimbulkan penderitaan yang panjang bagi korban. Selain itu, selama proses hukum terdakwa juga telah merendahkan harkat martabat perempuan melalui kuasa hukumnya. Terdakwa juga tidak kooperatif ketika ditetapkan sebagai tersangka seolah merendahkan hukum. Seharusnya majelis hakim menghukum terdakwa dengan alasan yang memberatkan,” jelas Margareth.
KemenPPPA juga memandang Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini tidak sungguh-sungguh menerapkan Pasal 59 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Dalam Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hakim harus merahasiakan identitas korban saat membacakan putusan yang terbuka untuk umum. Namun dalam sidang yang digelar tanggal 17 November 2022, majelis hakim menyebutkan identitas korban. Maka kami menghimbau agar Mahkamah Agung perlu mensosialisasikan ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU TPKS kepada hakim yang memeriksa perkara kekerasan seksual. KemenPPPA siap membantu MA jika diminta melakukan ini karena mandat KemenPPPA untuk menerapkan UU TPKS,” tambah Margareth.
Melalui kegiatan SOROT TAJAM dalam rangka Peringatan Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan ini merupakan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Melalui kegiatan ini mendorong komitmen bersama menjamin perlindungan yang lebih baik bagi perempuan korban serta mengajak semua orang untuk terlibat dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan karena tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap kekerasan yang terjadi kepada perempuan baik diranah domestik maupun publik.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id