INFORMASI PUBLIK

KemenPPPA Dorong kasus Kekerasan Seksual Lombok Timur Dihukum Maksimal dan Korban Dipenuhi Haknya

Siaran Pers Nomor: B-195/SETMEN/HM.02.04/05/2023

 

Jakarta (24/5) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras tindak kekerasan seksual yang diduga terjadi di Pondok Pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat yang diduga dilakukan oleh LMI (43) dan HSN (50). Keduanya merupakan pimpinan lembaga dan diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023 dan diantaranya 3 (tiga) orang korban telah membuat laporan polisi. Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.

Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan kasus dengan modus diantaranya “janji masuk surga” melalui “pengajian seks” ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat. Bahkan, terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16 – 17 tahun. 

“Terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan, tidak hanya melindungi anak tapi juga seharusnya menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini terduga pelaku justru melanggarnya dengan melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada anak didiknya,” tegas Nahar.

Nahar mengemukakan apabila perbuatannya memenuhi unsur Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014  tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terduga pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan, korbannya lebih dari 1 (satu) orang, dan perbuatannya dilakukan berulang, maka pelaku terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, dengan ancaman hukuman maksimal dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Penegakan hakum kasus ini diharapkan juga dapat memperhatikan dan menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dimana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual. 

“Berpedoman pada UU Nomor 17 Tahun 2016 dan UU Nomor 12 Tahun 2012, KemenPPPA mendorong Aparat Penegak Hukum agar dapat memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak-hak korban dapat dipenuhi,” tegas Nahar. 

Nahar berharap kepolisian dapat terus mendalami dan mengembangkan kasus ini, termasuk dapat membuka layanan pengaduan bersama untuk mengantisipasi masih ada korban lainnya yang belum berani lapor karena berbagai alasan. 

KemenPPPA, akan terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban TPKS ini yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinsos-PPPA bersama UPTD PPA Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur, LBH Apik, serta Lembaga pendamping korban lainya.

Nahar kembali mengingatkan, dalam memberikan fungsi layanan penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan KemenPPPA menyediakan layanan pengaduan SAPA129, yang dapat dihubungi oleh masyarakat apabila melihat, mendengar atau mengalami kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak melalui Call Center 129, atau nomor Whatsapp pada 08111-129-129. 

 

 

BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN 

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id