KemenPPPA Imbau Masyarakat Tidak Melakukan Stigmatisasi Terhadap Anak dari Pelabelan Terkait Kondisi Orang Tuanya
Siaran Pers Nomor: B-459/SETMEN/HM.02.04/9/2022
Jakarta (10/9) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengimbau masyarakat tidak memberikan stigmatisasi dan perundungan terhadap anak dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya, termasuk orang tua yang sedang menjalani proses hukum. Stigmatisasi anak dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya, dan perundungan terhadap anak merupakan bentuk kekerasan yang harus dicegah dibersama.
Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Titi Eko Rahayu, saat mendampingi Menteri PPPA dalam kunjungan kerja ke Medan pada Kamis (8/9/2022), mengatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, berasaskan non diskriminasi, sebagaimana yang tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Konvensi Hak-Hak Anak.
Pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selanjutnya UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 4 pun menyatakan: Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Oleh sebab itu, stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya dan perundungan yang diterima anak, menciderai hak anak atas tumbuh dan berkembang dan hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Kami harap masyarakat menghentikan dan tidak melakukan stigmatisasi dan perundungan, termasuk perundungan secara daring, kepada anak yang berhadapan dengan situasi tersebut,” kata Titi Eko.
Titi Eko mengatakan pada pasal 59 huruf ayat 2 (o), UU No. 35 Tahun 2014 yang merupakan UU perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan anak harus dilindungi dari korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
“Anak tidak bersalah dan jangan menjadikan anak sebagai korban lebih lanjut atas stigmatisasi tersebut, siapapun anak tersebut dan dalam kasus apapun. Kami mendorong masyarakat, termasuk sekolah dan media, turut serta dan berkewajiban untuk memberikan perlindungan anak, antara lain dalam bentuk tidak mempublikasikan identitas, dan merundung anak di ranah daring. Ini tanggung jawab bersama kita untuk menjaga setiap anak bebas dari segala tindak kekerasan secara fisik dan psikis,” kata Titi Eko.
Titi Eko mengingatkan perundungan akan berdampak buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental anak. Pada kasus yang berat, perundungan dapat menjadi pemicu tindakan yang fatal, seperti bunuh diri dan sebagainya. Secara psikis, perundungan akan mengakibatkan: depresi dan amarah, rendahnya tingkat kehadiran dan rendahnya prestasi akademik anak, serta menurunnya skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa.
Titi Eko mengatakan terhadap anak yang mendapatkan stigmatisasi tersebut, sesuai dengan UU No 35 Tahun 2014, maka Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab.
“Dalam kasus seperti ini, sesuai dengan regulasi kami melakukan koordinasi penanganan untuk memastikan anak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan haknya terjamin,” kata Titi Eko.
Apabila dalam pemantauan dan evaluasi, anak yang menjadi korban stigmatisasi perlu penanganan lebih lanjut, KemenPPPA akan berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait dan Dinas pengampu urusan PPPA baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota untuk melakukan Konseling, Rehabilitasi Sosial, dan Pendampingan Sosial dimana kasus itu terjadi untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510
e-mail : humas@kemenpppa.go.id
website : www.kemenpppa.go.id