INFORMASI PUBLIK

Zero Tolerence Terhadap Perkawinan Anak Melalui Peningkatan Kapasitas PATBM dan Relawan SAPA

Siaran Pers Nomor: B-435/SETMEN/HM.02.04/10/2023

 

D.I. Yogyakarta (17/11) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) secara berkelanjutan mengadakan peningkatan kapasitas bagi kelompok masyarakat di akar rumput guna mencegah terjadinya perkawinan anak. Bersama Aisyiyah Yogyakarta, KemenPPPA menyelenggarakan Sosialisasi Peningkatan Kapasitas Pencegahan Perkawinan Anak bagi kelompok masyarakat yang tergabung dalam Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Relawan Sahabat Perempuan dan Anak (Relawan SAPA) di Provinsi D.I. Yogyakarta (14/11).

“Pencegahan perkawinan usia anak menjadi salah satu fokus kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Dalam RPJMN disebutkan secara spesifik target penurunan angka perkawinan usia anak dari  8,74% pada akhir tahun 2024. Sementara itu angka prevalensi perkawinan anak hingga Tahun 2022 Provinsi D.I. Yogyakarta mencapai 2,78% atau dibawah angka nasional sebesar 8.06 %. Meskipun rendah, potensi perkawinan anak tetap masih ada dan perlu menjadi perhatian untuk melakukan pencegahan bersama,” tegas Perencana Ahli Madya Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA, Suhaeni 

Suhaeni menyampaikan peran masyarakat menjadi kunci untuk menurunkan angka perkawinan anak. Partisipasi masyarakat dilakukan dengan menyebarluaskan informasi pencegahan perkawinan anak dan bisa menjadi pengawas di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Kemen PPPA mengundang kelompok masyarakat Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Relawan Sahabat Perempuan dan Anak (Relawan SAPA) yang memiliki basis program dalam Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Keduanya memiliki program pencegahan perkawinan anak di tingkat wilayahnya masing-masing sehingga bisa maksimal dalam implementasinya.

“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan” ujar Perencana Ahli Madya Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Suhaeni 

Suhaeni juga menambahkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang tergabung dalam PATBM dan Relawan SAPA dalam hal membangun mindset perilaku “ZERO TOLERANCE” terhadap perkawinan anak yang didukung oleh para pemangku kepentingan.

“PATBM sebagai gerakan pada tingkat masyarakat diharapkan bisa bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan anak, dan menjadi ujung tombak untuk melakukan berbagai upaya pencegahan perkawinan anak. Salah satunya dengan membangun kesadaran masyarakat agar terjadi perubahan pemahaman, sikap dan perilaku yang berpihak kepada anak,” tutur Suhaeni.

Selain itu, pencegahan perkawinan anak di tingkat pemerintahan terkecil dapat dilakukan di level desa dengan melibatkan Relawan SAPA yang tergabung dalam basis program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) yakni desa yang mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, berkelanjutan, sesuai dengan visi pembangunan Indonesia.

“Harapannya, kegiatan ini menjadi momentum untuk membangun kolaborasi dan gerakan bersama serta melakukan aksi strategis dalam upaya pencegahan perkawinan anak bagi seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia untuk mewujudkan Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi, Indonesia Maju” pungkas Suhaeni.

Sementara itu, Rofiqoh Widiastuti, Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Provinsi DI Yogyakarta  menjelaskan, salah satu strategi yang sudah dilakukan untuk mencegah perkawinan anak adalah melalui pendewasaan usia perkawinan.

“Pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, yaitu menetapkan usia minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki, pada batasan usia ini seseorang dianggap sudah siap menghadapi kehidupan keluarga yang dipandang dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional,” tutur Rofiqoh. 

Para penggiat PATBM dan relawan SAPA diharapkan mampu membantu pemerintah sebagai pendamping masyarakat dengan semangat untuk melindungi hak-hak anak di Indonesia dan mendukung penurunan perkawinan anak yang signifikan. Kegiatan ini diharapkan dapat mempercepat penurunan angka perkawinan anak terutama bagi Provinsi D.I. Yogyakarta serta menjadi best practice bagi daerah lain dalam rangka mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2024.

 



BIRO HUKUM DAN HUMAS

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

Telp.& Fax (021) 3448510

e-mail : humas@kemenpppa.go.id

website : www.kemenpppa.go.id